ISNU_Ponorogo

Dari Madiun ke Jakarta : Kilas Balik Perjalanan dan Ingatan

Foto utama adalah Stasiun KA Madiun tahun 1930 (dokumentasi KITLV)

Oleh: Adhie Handika Restu Damara

Ini merupakan sebuah perjalanan yang dimulai dari kota Madiun (Jawa Timur) dengan melihat beberapa pemandangan alam sekitar, serta berdasarkan keadaan melamun, hingga kemudian menyikapinya dengan melihat ke luar jendela kereta. Tepat hari Kamis 12 September pukul 11.08 WIB, kereta yang saya tumpangi mulai bergerak berjalan menuju kota tujuan. Keberangkatan itu dimulai dari stasiun Madiun, dengan nama lokomotif Argo Semeru tujuan akhir stasiun Gambir Jakarta. Sepanjang perjalann itu memberikan sebuah gambaran dan bebebrapa situasi yang dapat saya lihat sebagai suatu peristiwa sosial yang ada. Perjalanan dari Madiun itu sungguh memberikan beberapa kesan kilas balik yang dapat di artikan bagaimana bentuk-bentuk tatanan alam, sosial yang dilintasi oleh rel lokomotif kereta api.

(Gambar kereta api di era Kolonial, Sumber Gambar : KITLV)

Namun sebelum berangkat, sambil menunggu kedatangan kereta di dalam stasiun Madiun, saya tak sengaja menghadap ke arah Barat, tampak menjulang tinggi pemandangan alam megah gunung Lawu. Selain pemandangan alam itu, Madiun menyuguhkan juga tatanan ruang kota yang masih utuh dengan arsitektur lamanya. Bahwa kota ini bisa dikatakan penuh dengan bangunan-bangunan ciri khas era kolonial. Dengan menuju ke stasiun dari selatan, bangunan itu dapat dijumpai di sepanjang perjalanan, menunjukkan masih begitu bergeningnya tatanan-tananan lama tersebut. Hal ini memberikan kesan bahwa sepanjang jalan arah stasiun tersebut memberi saksi bahwa kota ini dulunya merupakan sebuah jantung pemerintahan dan pusat dari segala aktifitas masyarakat.

Banyak cerita sejarah yang menggelayuti kota ini, termasuk sejak era kolonial. Beberapa gejolak peperangan dan perlawanan dari beberapa tokoh lokal pernah terjadi. Contohnya seperti perlawanan Raden Ronggo Prawirodirjo, Setot Ali Basha, Bupati Brotodiningrat dan bebebrapa tokoh agama (pesantren) seperti kiai Ageng Tegalsari, Kiai Basyariah Sewulan, hinga Kiai Umar Banjarsari yang semuanya itu berlaga sebagai pemerintahan dan agamawan keraton.

Walaupun masih banyak lagi yang belum sepopuler itu namanya dalam perhelatan sejarah Madiun, tetapi memiliki pengaruh juga dalam sejarah Madiun. Misalnya dari golongan kanuragan atau seorang ahli bela diri yaitu Ki Ngabehi Surodiwiryo peletak dasar ilmu Setia Hati yang sekarang banyak dianut oleh sebagian masyarakat Madiun. Kemudian yang memiliki pengaruh lainnya ialah Pesantren Takeran yang diprakarsai oleh Kiai Hasan Ulama dan Pesantren Tegalrejo, Semen oleh Kiai Abdurrahman yang memiliki galah tarekat di era kolonial. Semua itu menjadi mozaik khasanah dalam tanda kutip Madiun. Dari dua pesantren tersebut teringat jika keberadaannya dekat dengan perlintasan lokomitif di era kolonial.

Perjalanan dari Madiun kemudian berlanjut dan berhenti pada Stasiun Balapan Solo, Jawa Tengah. Walaupun sebelumnya melewati wilayah Ngawi, penulis malah ketiduran karena pemandangan sawah dan ladang nan hijau, yang akhirnya terbius oleh kenikmatan akan keindahannya. Balapan Solo menjadi antrian pemberhentian stasiun ke dua, di mana Solo mengingatkan penulis pada tatanan kota yang memiliki peranan penting dalam dinamika perhelatan sejarah Jawa. Ditunjuukkan dengan adanya beberapa bangunan yang masih berdiri tegak yaitu sebuah bangunan Keraton Kasunanan Surakarta. Keraton ini dulunya pernah menjadi kaki tangan juga dari pergerakan pesantren yang ada di Madiun, tepatnya Pesantren Tegalsari oleh Paku Buwono II yang dijadikan rujukan atas pemberontakan yang dilakukan oleh R. Mas Garendi pada suatu peristiwa yang disebut kebanyakan orang sebagai Geger Pecinan.

Gambar.2. Stasiun Cirebon

Perjalanan Paku Buwono II di wilayah Madiun khususnya di Kabupaten Ponorogo pada saat mencari rujukan pesantren tersebut ditemani oleh seorang tumennggung yang memiliki tanah perdikan di wilayah Kecamatan Pulung, ia adalah R. Tumenggung Jayengrono. Perjalanan Paku Buwono bersama tumenggung ini yang menurut cerita tutur di Desa Pulung Merdiko menjadi toponimi nama beberapa desa akibat dari peristiwa yang dialami oleh Paku Buwono II.

Selain menjadi toponimi desa, salah satu peristiwa yang dialami oleh raja Keraton Solo itu juga menjadi strategi perang. Adalah ketika makan sesajian yang disuguhkan oleh perempuan janda tua. Sesajian itu berupa Jenang yang masih panas di atas panci. Melihat Jenang yang disuguhkan tanpa berpikir panjang sang raja segera mencicipinya dan mengambil bagian tengah dari Jenang yang ada di dalam panci panas tersebut. Akhirnya lidah Raja tersebut terluka. Hal ini kemudian dijadikan pengalaman raja kalau makan makanan yang panas di ambil dan dimulai dari daerah pinggir terlebih dahulu. Peristiwa ini yang kemudian mengilhami sang Raja dalam siasat perang.

Wah, tampaknya semakin panjang juga cerita ini, memanjang seperti rel kereta api. Ditambah lagi perjalanan masih berlanjut dari Solo menuju Yogjakarta. Stasiun ini berada di persimpangan Jalan menuju Keraton Yogjakarta, tepatnya sebelah utara dari jalan Malioboro yang menjadi destinasi wisata. Setelah tiba sambil menengok kanan kiri, pemberhentian di stasiun ini memberikan gambaran yang identik dengan kebudayaannya. Huruf-huruf dan tulisan-tulisan pada palang pintu yang menggunakan aksara Jawa (hancaraka) menunjukkan bahwa kota ini masih menjaga akan identitas ke-Jawa-annya.

Apalagi di tengah arus zaman yang semakin modern, Yogjakarta mampu menempatkan budayanya tetap eksis dan sanggup sounding dengan pop-culture era kini. Ada cerita yang menarik dari daerah istimewa ini, salah satunya dalam sejarah kolonial yang pernah mengalami gejolak peperangan. Dalam narasi sejarah dan yang selalu diingat oleh sebagian masyarakat ialah peristiwa Perang Jawa. Perang tersebut dipimpin oleh sosok pangeran yang bergaris keturunan Raja disebut sebagai Pangeran Diponegoro. Pangeran itu merupakan cucu dari Hamengku Buwono II, Raja Yogjakarta.

Peristiwa perang itu ternyata memiliki andil besar dalam perubahan masyarakat Jawa, terkhusus masyarakat yang berada di wilayah naungan kekuasaan keraton. Di mana-mana berkobar api semangat perlawanan sehingga pihak kolonial kuwalahan dan mengalami kerugian akibat perang. Penyulut api peperangan tersebut awali dari sebuah keegoisan kolonial Belanda yang memasang tiang pancang di atas makam para leluhur Jawa, dengan tanpa mengindahkan pihak-pihak terkait, akhirnya memunculkan kemarahan besar. Sebab orang Jawa merasa perbuatan kolonial itu merupakan sebuah upaya dalam menghilangkan nilai-nilai leluhur dan juga melecehkan harga diri masyarakat Jawa. Akhirnya kemarahan itu memuncak, benderang perang dibunyikan, jajaran keraton dan ulamanya mengangkat senjata pantang tunduk terhadap penjajahan.

Sungguh saya merasa dipaksa untuk bercerita, dibalik begitu melelahkannya dari sebuah perjalanan lokomotif yang sebenarnya lebih enak duduk sambil mendengarkan musik dengan heandset di telinga. Namun pada tiap-tiap kota pemberhentian menyuguhkan sensasi historisnya, yang sebenarnya tidak mengingatnya juga tidak apa-apa. Jadi walaupun begitu membosankan, tetapi maaf catatan ini tetap saya lanjutkan.

Kemudian kereta berangkat lagi menuju stasiun berikutnya yaitu stasiun Purworejo. Pemberhentian di stasiun ini saya sejenak melepas penat dengan melakukan gerakan molet ngongkek boyok semacam pelemasan otot agar fresh kembali. Kemudian saya berdiri dan menuju pintu keluar gerbong kereta. Setelah berada di luar gerbong kereta, barulah sebuah bungkus kuning dapat saya tarik dari kantong celana bersama dengan temannya korek api, yang kemudian saya nyalakan. Suara khas kretek dan asap dari benda kuning tadi menjadi sajian berbuka setelah berjam-jam berpuasa. Bagaikan angin segar, dahaga yang menemukan telaga, yang ditandai pada api dan hembus asapnya. mak plong, rasa yang melegakan.

Setelah jarak waktu sekitar lima menit, peluit berbunyi tanda kereta akan berangkat lagi. Bergegaslah kembali saya menuju dalam gerbong kereta api dan duduk seperti sediakala lagi. Purworejo masih dalam cerita, sebagimana dalam cerita lanjutnya terkhusus pada Perang Jawa. Beberapa martil perlawanan banyak berasal dari wilayah ini. Terutama jajaran para ulama keraton yang konsisten dalam anti terhadap kolonial.

Menurut cerita, kalangan ulama atau kiai di daerah ini berasal dari sebuah desa yang disebut dengan Desa Bagelen. Bahkan kolonial ikut intervensi dalam tatanan birokrasi pemerintahan untuk tujuan membendung dari adanya pergerakan perlawanan dari kalangan kiai-kiai Bagelen. Saya masih ingat kalau tidak salah adalah sebuah daerah yang disebut Kutoharjo, yang merupakan tempat pemerintahan era itu. Bahkan ulama dari daerah ini keturunannya masih banyak ditemukan sampai wilayah Madiun. Sebab pasukan Perang Jawa diidentikkan dengan persebarannya ke wilayah Timur, termasuk Madiun.

Sebenarnya saya ingin menghentikan cerita perjalanan ini, tetapi keadaan memaksa saya untuk menggerakkan jari-jari saya menulisnya kembali. Sekali lagi mohon maaf. Setiap perjalanan di sepanjang jalur rel kereta api selain cerita sejarah, fenomena sosial dapat pula diamati. Saya melihat dari setiap keberangkatan kererta, para petugas stasiun selalu stay berdiri di pinggir jalur kereta api dengan selalu memberikan sikap atau salam penghormatan. Saya mengiranya itu sebuah bentuk dari lebih dekatnya tatanan sistem kerja yang sangat disiplin. Bagikan sikap sebuah militer, yang menurut saya ialah bagaimana dari tata busana yang para petugas pakai saat bekerja, menunjukkan sebuah ketegasan.

Apa mungkin sistem seperti ini sudah berjalan sejak perkereta apian ini diciptakan dan dijalankan? Sebab era kolonialisme ialah era perang, jadi sikap-sikap ala militer ditunjukkan. Entahlah. Tetapi yang saya amati hanyalah berlaku kepada sikap para petugas lokomotif saja. Sedangkan di dalam kereta api merek bertugas begitu ramahnya terhadap penumpang. Salah satunya ditunjukkan oleh para petugas pembawa makanan dan minuman yang selalu menawarkannya dengan sangat ramah. Kemudian saya berpendapat, jika fenomena di luar bagaikan militer atau perang, sedang di dalamnya ialah urusan-urusan pangan atau ekonomi. Jadi, ya I don’t know.

Berikutnya adalah perjalanan menuju Stasiun Cirebon Jawa Barat. Di sepanjang perjalanan di wilayah Cirebon saya disuguhkan oleh semacam bangunan seperti Gasebo, atau tempat pelataran bagi perkumpulan orang dalam jumlah sedikit, tetapi bangunan itu memiliki bentuk puncak atap atau tajug yang runcing dan bertingkat. Seperti pada bangunan ala masjid kuno yang tanpa kubah tetapi memiliki puncak atap atau tajug yang bertingkat dan lancip. Kontruksi bangunan kuno ini masih terjaga di beberapa masjid yang saya temui sepanjang perjalanan, bagaimana arsitektur made in Nusantara ini masih terjaga keasliannya. Ini menunjukkan bahwa kota Cirebon masih memiliki daya kekuatannya di wilayah identitas budayanya serta nilai-nilai pedoman hidup di masyarakatnya. Memang Cirebon memiliki sejarah yang panjang, terutama dalam persebaran Islam. Kota ini juga memiliki konsep bangunan tatanan keraton.

Setelah melewati Cirebon, perjalanan berikutnya pada pemberhentian terakhir yaitu Stasiun Gambir, Jakarta. Tiba pada malam hari pukul 19.50 WIB. Stasiun ini secara bangunan tersusun tiga lantai, dan penurunan penumpang berada di lantai paling atas. Sebab jalur kereta api di Jakarta banyak dibangun di atas jalur pengendara umum, sebab disinyalir untuk mengurangi kemacetan di jalan raya. Kemudian setelah berjalan turun melewati dua tangga yang menghubungkan tiga lantai stasiun tersebut, saya dan para penumpang lainnya disuguhkan oleh bangunan Monumen Nasional atau Monas. Bangunan ini didirikan pada era presiden pertama Ir. Soekarno, sebagai simbol bahwa semangat nasionalisme atau mencintai tanah air merupakan spirit yang harus dijaga. Sehingga pada bangunan ini terdapat susunan berbentuk api yang berpijar di puncak monumen tersebut. Pada Monumen Nasional ini akhirnya cerita dari catatan perjalanan naik kereta api ini selesai. Sudah begitu saja, terimakasih sudah mau membaca, semoga bermanafaat.*

Facebook
Twitter
LinkedIn