ISNU_Ponorogo

HADITS DAN STRUKTURNYA

Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar 

  1. Pengertian Hadits 

“Hadis” atau al-Hadits menurut bahasa, berarti al-Jadid (sesuatu yang  baru), lawan kata dari al-Qadim (sesuatu yang lama). Kata Hadis juga berarti al-Khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang  kepada orang lain. Jamaknya ialah al-Ahadits.  

Adapun secara terminologis, menurut ulama’ hadits ada beberapa  difinisi yang antara satu dengan lainnya agak berbeda. Diantaranya mendifinisikan  hadits sebagai berikut: 

أقوال النبي ص.م. وأفعالھ وأحو الھ 

“Segala perkataan Nabi SAW., perbuatan, dan hal ihwalnya.”  

كل ما أثر عن النبي ص.م. من قول و فعل و تقریر وصفة  

“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. baik berupa perkataan,  perbuatan, taqrir, maupun sifatnya. Ada yang mendifinisikan dengan : 

كل ما أضیف إلى النبي ص.م. قولا أو فعلا أو تقریرا أو صفة 

“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik berupa  perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya.” 

Dari ketiga pengertian di atas ada definisi yang samabahwa Hadits adalah  segala yang disandarkan kepada Rasulullah, baik perkataan (qauly)dan perbuatan (fi’ly)  Rasulullah.  Sedangkan yang berbeda dari ketiganya, ialah pada penyebutan terakhir.  Diantaranya ada yang menyebutkan hal ihwal atau sifat Rasulullah sebagai hadits, ada  yang tidak, ada yang menyebutkan persetujuan atau sikap (taqrir) Rasul secara eksplisit sebagai bagian dari bentuk-bentuk hadits, dan ada yang memasukkan secara implisit kedalam aqwal atau  af’al nya.  

Sementara itu para ulama’ ushul memberikan definisi yang lebih terbatas  dari rumusan di atassebagai berikut:

أقوال النبي ص.م.مما یصلح أن یكون دلیلا لحكم شرعي 

“Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk  menetapkan hukum syara’.” 

Dari pengertian tersebut, bahwa segala perkataan atau aqwal Nabi, yang  tidak ada relevansinya dengan hukum atau tidak mengandung misi kerasulannya,  seperti tentang cara berpakaian, berbicara, tidur, makan, minum, atau segala yang  menyangkut hal ihwal Nabi, tidak termasuk hadits. 

Baik menurut difinisi ulama’ hadits maupun ulama’ ushul, kedua pengertian  yang diajukannya memberikan difinisi yang terbatas pada sesuatu yang  disandarkan kepada Rasul tanpa menyinggung perilaku dan ucapan sahabat atau  tabi’in. Dengan kata lain, definisi di atas adalah dalam rumusan yang terbatas atau  sempit. 

Diantara para ulama’ hadits, At-Tirmidzi  mendifinisikan hadis secara longgar.  Menurutnya hadits mempunyai pengertian lebih luas, yang tidak hanya terbatas  pada sesuatu yang disandarkan kepada Nabi semata (hadis marfu’), melainkan juga  segala yang disandarkan kepada shahabat, (hadis mauquf), dan tabi’in (hadis  maqtu’). 

Hadits dalam pengertian yang luas seperti di atas, menurut al-Tirmidzi  merupakan sinonim dari kata al-Khabar. Selain istilah hadits, terdapat istilah sunnah,  khabar, dan atsar. Terhadap ketiga istilah tersebut, ada yang sependapat ada juga  yang berbeda.

  1. Pengertian Sunnah 

Pada umumnya umat Islam tidak memandang penting bahwa hadits dan  sunnah harus dibedakan. Sebab, untuk mengetahui sunnah harus membaca buku buku hadits guna memperoleh informasi sunnah rasul. 

Adapun sunnah menurut bahasa, berarti : 

السیرة والطریقة المعتادة حسنة كانت أو قبیحة 

“Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek.” 

السیرة حسنة كانت أو سیئة 

“Jalan (yang dijalani) baik yang terpuji atau tercela. 

الطریقة المستقیمة  

“Jalan yang lurus atau benar” 

Berkaitan dengan pengertian dari sudut kebahasaan ini, Nabi bersabda : 

من سن في الإسلام سنة حسنة فلھ أجرھا وأجر من عمل ھبا بعده من غیر أن ینقص من أجورھم شيء و من سن في الإسلام سنة سیئة كان علیھ وزرھا ووزر من عمل ھبا من بعده من غیر أن ینقص من أوزارھم شيء 

“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang baik, ia akan  mendapatkan imbalan kebajikan dari perbuatannya itu dan imbalan yang seimbang  dengan orang yang mengikutinya setelah dia, dengan tidak dikurangi sedikitpun.  Begitu pula, siapa yang melakukan suatu perbuatan jelek, ia akan menanggung  dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya, dengan tidak dikurangi dosanya  sedikitpun”. 

Hadis tersebut menunjukkan bahwa sunnah ada yang baik dan ada yang  buruk. Dengan demikian dalam sunnah ada unsur kebiasaan, maka maksud sunnah  Rasul adalah segala sesuatu yang pernah dilakukan oleh Nabi, seolah menjadi  kebiasaannya. 

Berbeda dengan pengertian kebahasaan di atas, dalam al-Qur’an, kata  sunnah mengacu kepada arti “ketetapan atau hukum Allah”. Hal ini seperti dapat dilihat pada surat alKahfi ayat 55, al-Isra’ ayat 77, al-Anfal ayat 38, al-Hijr ayat 13,  al-Ahzab ayat 38, 62, al-Fatir ayat 43 dan al-Mukmin ayat 85. 

Menurut Ajjaj al-Khatib, bila kata sunnah diterapkan kedalam masalah  hukum syara’, maka yang dimaksudkan dengan sunnah ialah segala sesuatu yang  diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Nabi, baik berupa perkataan maupun  perbuatannya. Dengan demikian apabila dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab  dan al-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Qur’an dan hadits. 

Adapun sunnah menurut istilah, di kalangan para ulama’ terdapat  perbedaan pendapat. Ada yang menggartikannya sama dengan hadis dan ada yang  membedakannya, bahkan ada yang memberikan sharatsharat tertentu yang berbeda  dengan istilah hadits. 

Pengertian sunnah menurut ulama’ hadits, ialah : 

كل ما أثر عن النبي ص.م. من قول وفعل وتقریر وصفة خلقیة أو سیرة سواء أكان ذلك قبل البعثة أم بعدھا 

“Segala sesuatu bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,  perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum  diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya.” 

Menurut pengertian ini, kata sunnah sebagaimana di atas, mereka  memandang diri Rasulullah sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan)  yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Oleh karena itu, mereka  menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterimanya tentang  diri Nabi, tanpa membedakan apakah yang diberitakan itu isinya berkaitan dengan  penetapan hukum syara’ atau tidak. Begitu pula mereka tidak melakukan pemilihan  untuk keperluan tersebut, apakah ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum  diutus menjadi Rasulullah, atau sesudahnya. Dalam pandangan mereka, apa saja tentang  diri Rasul, sebelum atau sesudah diangkat menjadi Rasulullah adalah sama saja. 

Berbeda dengan ahli hadis, ahli usul mendefinisikan sunnah, dengan : 

كل ما صدر عن النبي ص.م.غیر القرآن الكریم من قول أو فعل أو تقریر مما یصلح أن یكون دلیلا لحكم شرعي 

“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk  dijadikan dalil bagi penetapan hukum shara’.” 

Definisi menurut ulama’ ushul di atas membatasi pengertian sunnah hanya  pada sesuatu yang disandarkan atau yang bersumber dari Nabi, yang ada  relevansinya dengan penetapan hukum shara’. Maka segala sifat, perilaku, sejarah  hidup, dan segala sesuatu yang sandarannya kepada Nabi, tidak ada relevansinya  dengan hukum shara’ tidak dapat dikatakan sunnah. Dengan difinisi ini, secara  kuantitatif jumlah sunnah lebih terbatas jika dibanding dengan jumlah sunnah  menurut ahli hadits, apalagi jika hanya membatasi terhadap sesuatu yang datang  setelah masa kerasulannya. 

Pengertian yang diajukan oleh ulama’ ushul tersebut, didasarkan pada  argumentasi, bahwa Nabi adalah penentu atau pengatur undang-undang yang  menerangkan kepada manusia tentang aturan-aturan kehidupan (Dustur al-Hayat)  dan meletakkan dasar-dasar metodologis atau kaidah-kaidah bagi para mujtahid  yang hidup sesudahnya dalam menjelaskan dan menggali syari’at Islam. Maka  segala pemberitaan tentang Rasulullah yang tidak mengandung atau tidak  menggambarkan adanya ketentuan syara’, tidak dapat dikatakan sunnah. 

Adapun sunnah menurut ulama’ fiqih, ialah : 

ما ثبت عن النبي ص.م. من غیر افتراض ولا وجوب 

“Segala ketetapan yang berasal dari Nabi SAW selain yang difardhukan dan  diwajibkan.”  

Menurut mereka, sunnah merupakan salah satu hukum yang lima seperti  wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. 

Definisi lainnya menyebutkan, bahwa sunnah, ialah sesuatu apabila  dikerjakan lebih baik dari pada ditinggalkan, Kelebihan ini tidak berarti larangan  atau ancaman karena meninggalkannya, seperti sunat-sunat dalam shalat dan wudu’.  Pekerjaan sunnat ini membawa kelebihan, sehingga dianjurkan untuk mengerjakannya, tidak ada yang mengharamkan meninggalkannya. Jelaslah bahwa  mengerjakan akan mendapat pahala dan tidak disiksa karena meninggalkannya. 

Ulama’ fiqih mendefinisikan sunnah seperti di atas, karena mereka  memusatkan pembahasan tentang Nabi yang perbuatan-perbuatannya menunjukkan  kepada hukum syara’. Mereka membahasnya untuk diterapkan pada perbuatan  mukallaf, baik yang wajib, haram, makruh, mubah, maupun sunnah. 

  1. Pengertian Khabar 

Kata khabar menurut bahasa, adalah segala sesuatu yang disampaikan oleh  seseorang kepada orang lain. Dari sudut pendekatan bahasa ini kata khabar sama  artinya dengan hadis. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, sebagaimana dikutip oleh  Al-Suyuti ulama’ yang mendifinisikan hadits secara luas, memandang bahwa istilah  hadits sama artinya dengan khabar. Keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang  marfu’, mawquf, dan maqtu’. Demikian juga dikatakan oleh al-Tirmidzi. 

Ulama’ lain mengatakan bahkan khabar, adalah sesuatu yang datang selain  dari Nabi, adapun yang datang dari Nabi disebut hadits. Ada juga yang mengatakan  bahwa hadis lebih umum dari khabar. Pada keduanya berlaku kaidah ‘umumun wa  khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatakan khabar, tetapi  tidak setiap khabar dapat dikatakan hadits.

  1. Pengertian Atsar 

Secara bahasa kata atsar berarti bekas sesuatu atau sisa-sisa sesuatu. Bisa  pula berarti nukkilan (sesuatu yang diambil). Maksudnya peninggalan atau bekas  sesuatu, artinya peninggalan atau bekas Nabi karena hadits itu peninggalan beliau. 

Atsar menurut jumhur ulama’ mempunyai pengertian yang sama dengan  khabar dan hadits. Sebagai contoh pada pemakaian istilah untuk sebutan, Az -Zarkasyi memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan  memakainya untuk perkataan Rasul SAW (hadis marfu). 

Ahli fiqih menamai perkataan-perkataan shahabat (hadits mauquf) dengan  atsar, dan menamai hadits-hadits yang berasal dari Nabi Muhammad SAW sebagai khabar.

 

Struktur Hadits 

Setiap Hadits terdiri dari 2 unsur yaitu sanad dan matan, sebagaimana  Hadits berikut: 

حد ثنا عبد اھلل بن یوسف قال: أخربنا مالك بن انس عن ابن شھاب عن سالم بن ّ ىلع رجل من األنصار وھو یعظ اخاه ىف عبد اھلل عن ابیھ ان رسول اھلل ص.م. مر احلیاء فقال رسول اھلل صلعم دعھ فان احلیاء من اإلیمان (رواه ابلخارى ) 

Kalimat “’anna Rasulullah SAW” sampai akhir itulah yang disebut matan  hadits, sedang rangkaian para perowi yang membawa hadits disebut sanad hadits.

 

Pengertian Sanad, Matan dan Mukharrij, dan Rawi 

  1. Sanad 

Sanad secara bahasa adalah sandaran; sementara secara istilah adalah  silsilah perawi yang meriwayatkan hadis hingga kepada matan hadis. Imam  Nawawi menyatakan bila sanad suatu hadis bernilai Shahih maka hadis tersebut  dapat diterima dan mengamalkannya adalah berpahala. Sementara jika kualitas  sanad hadis tersebut tidak shahih maka harus ditinggalkan. Imam Ahmad bin  Hanbal pernah berkata: 

ْو َن ِ م َن الكوفة إلىَُ َرحلُوا یطلب الإستاد العالي سلة عمن سل ْ ف، لأن أص َح َ اب َ ع ِبْد الله كان 

ُ ْو َن ِ منھَ ْس َمع ویَّ ُم َون ِ م ْن ُ ع َمَر ََلَتَعَیِ المدینة ف 

Artinya: “Mencari sanad ‘äli (derajat yang tinggi) adalah tradisi dari para  ulama salaf, karena para sahabat Abdullah ibn Umar mengadakan perjalanan dari  Kufah menuju Madinah hanya untuk belajar dan mendengar dari Umar.” (Al Suyūti di dalam Kitab Tadrib al-Rawi) 

Sanad Ali adalah sanad yang jumlah orang-orang terlibat dalam mata  rantainya lebih sedikit dan semua orang yang tersebut adalah orang-orang  terpercaya (tsiqah). Sebaliknya, disebut Sanad Nazil; ialah orang-orang yang  terlibat dalam mata rantai sanadnya lebih banyak. Sanad Ali memiliki potensi lebih  kecil dari kesalahan dalam mata rantai itu sendiri atau dalam redaksi bunyi matan  (informasi) hadis yang dibawa. Sementara Sanod Nazil berpotensi mengandung  kesalahan, oleh karena itu, tradisi para ulama salaf terdahulu berusaha mencari  Sanad Ali dengan usaha yang maksimal. 

Di dalam bidang disiplin ilmu hadis, sanad hadis adalah barometer  menentukan kualitas suatu hadis; kualitas hadis tersebut seperti sebutan hadis  shahih, hadis hasan, dhoif atau hadis palsu. Andaikata di dalam silsilah sanad-sanad  tersebut ada yang fasik atau suka berdusta maka derajat hadis tersebut bisa  berkualitas dhoif hingga tidak dapat dijadikan sebagai dalil-hujjah untuk  menetapkan suatu hukum di dalam ajaran agama Islam. 

  1. Matan 

Matan adalah penghujung dari sanad, yaitu sabda baginda Nabi Saw.  Berbeda dengan musnid yaitu orang-orang yang menerangkan hadis Nabi Saw  dengan menyebutkan sanadnya, sedangkan musnad adalah kumpulan hadis yang  dikumpulkan oleh pengarangnya kemudian dijadikan sebuah kitab, contohnya  musnad Imam Ahmad. 

Untuk meneliti dan mengkritisi matan hadits dari segi kandungannya, maka  perlu menggunakan berbagai pendekatan seperti rasio jumlah matan hadis yang  diriwayatkan oleh berbagai perawi dalam sislilah rijäl, pendekatan sejarah dan tidak  lepas dari prinsip-prinsip ajaran pokok agama Islam. 

Ada beberapa alasan yang menghambat dalam penelitian matan hadis  antara lain: 

  1. Adanya periwayatan hadis secara maknawi; 
  2. Penelitian matan hadis dilakukan dengan berbagai pendekatan;
  3. Adanya kandungan hadis yang bersifat ghaibiyah, 
  4. Langkanya kitab-kitab hadis yang memberikan petunjuk dalam penelitian matanul hadits. 

Pada dasarnya tujuan pokok dari penelitian sanad maupun matan hadis  adalah untuk mengetahui kualitas hadis sehingga dapat dijadikan sandaran dalam  menentukan suatu hukum di dalam ajaran agama Islam. Contoh hadis dengan  kualitas hadis shahih sebagai berikut: 

َ َ ین َّ الر ُج ِل وبینِ َّن بعن جابر رضي الله عنھ، قال: سمعت النبي صلى الله علیھ وسلم یقول)) : إ الشرك والكفر ترك الصلاة  

Artinya: dari Jabir ra., berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:  “sesungguhnya batas antara seseorang yang melakukan perbuatan syirik dan kafir  adalah meninggalkan shalat”. (HR. Imam Muslim) 

Dapat diketahui bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim  dengan kualitas hadis shahih. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa  orang muslim yang meninggalkan shalat fardhu lima waktu secara sengaja maka  dirinya berada pada posisi antara orang kafir dan orang yang melakukan perbuatan  syirik.

  1. Mukharrij 

Mukharrij adalah rawi terakhir yang menuliskan riwayat yang ia dapat  dalam sebuah catatan/karya pribadinya. Shiyaghul ada’ adalah redaksi yang dipakai  oleh seorang rawi dalam meriwayatkan sebuah hadits.

  1. Rawi 

Rāwi adalah orang-orang yang menyampaikan dan menuliskan hadis Nabi  Saw ke dalam kitab-kitab hadis dari apa yang didengar dan diterima dari gurunya. Rawi hadis yang dimaksud adalah semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu  Daud, al Turmudzi, an-Nasa’i dan ibn Majah. Seorang penyusun kitab hadis ketika  hendak mengakhiri redaksi matan hadis dari kitabnya, maka mereka menyematkan  nama rawi pada akhir matan hadisnya. Berikut ini contohnya: 

ُخاللعن أبي ھریرة رضي الله عنھ أن رسول الله قال: المرء على دین خلیلھ فلینظر أحدكم من ی رواه البیھقي . 

Artinya: Dari abi Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw bersabda:  “Seseorang bergantung pada ajaran agama temannya, maka perhatikanlah dengan  siapa kamu akan berteman.” (HR. Imam al-Baihaqi di dalam kitabnya Su’ab-al Iman) 

Rawi yang terakhir dari konten atau teks hadis Nabi Saw di atas adalah  imam al-Baihaqi, kendatipun jarak antara kita dengan perawi sangat jauh dan tidak  segenerasi dan tidak pula pernah berjumpa dengannya, namun kita dapat menemui  hadis tersebut di dalam kitab beliau berjudul Su’ab- al-Iman, dicetak di Beirut:  Darul fikr, 1424 H, no. Hadis 3107, halaman 7. 

Para ilmuan hadis mendapatkan gelar keahlian di bidang disiplin ilmu  hadis yang sesuai dengan kemampuan hafalan hadisnya, melahirkan karya-karya,  karena kemahiran yang diakui oleh para ulama sebagaimana yang dialami oleh  Imam al- Bukhari. 

Facebook
Twitter
LinkedIn