Pengelolaan lahan terbengkalai merupakan upaya penting yang dapat dilakukan oleh organisasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas lingkungan. Dalam hukum Islam, konsep Ihyaul Mawat memberikan panduan yang jelas mengenai bagaimana lahan yang tidak terpakai dapat dihidupkan kembali dan dimanfaatkan secara optimal. Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, organisasi masyarakat tidak hanya berkontribusi pada pengelolaan lahan yang efektif tetapi juga menjalankan ajaran Islam dalam pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Pengelolaan Lahan dalam Hukum Islam
Ihyaul Mawat adalah konsep dalam hukum Islam yang mengacu pada tindakan menghidupkan atau memanfaatkan lahan yang terbengkalai atau tidak digunakan, sehingga menjadi produktif. Konsep ini berasal dari tradisi Islam yang mendukung pemanfaatan lahan yang tidak terpakai untuk kepentingan masyarakat, mengurangi pemborosan sumber daya alam, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan lahan secara produktif. Istilah “Ihyaul Mawat” sendiri berasal dari kata Arab “ihya” yang berarti “menghidupkan” dan “mawat” yang berarti “mati” atau “tidak terpakai.” Pemikiran ini didasarkan pada ajaran Islam yang mendorong penggunaan optimal dari semua sumber daya yang tersedia, sesuai dengan prinsip efisiensi dan keadilan sosial.
Dasar hukum Ihyaul Mawat dapat ditemukan dalam berbagai literatur Islam klasik, termasuk kitab-kitab fikih. Salah satu dasar pentingnya adalah hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, yang menyatakan, “Barangsiapa yang menghidupkan lahan mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” Hadits ini menegaskan bahwa Islam mendorong inisiatif individu dalam memanfaatkan lahan yang tidak digunakan untuk kepentingan produktif, memberikan hak kepemilikan sebagai insentif. Selain itu, kitab-kitab seperti “Al-Mughni” karya Ibn Qudamah dan “Al-Majmu'” karya Imam Nawawi juga membahas prinsip-prinsip dan syarat-syarat Ihyaul Mawat secara rinci, termasuk perlunya niat yang tulus dan usaha yang nyata dalam menghidupkan lahan tersebut.
Ulama-ulama klasik dan kontemporer juga memberikan pandangan yang mendukung Ihyaul Mawat. Ibn Taymiyyah, misalnya, dalam karyanya “Majmu’ al-Fatawa” menegaskan pentingnya menghidupkan lahan mati sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan kontribusi terhadap kemaslahatan umat. Ulama kontemporer seperti Sheikh Yusuf al-Qaradawi juga menyatakan bahwa Ihyaul Mawat adalah salah satu cara yang efektif untuk mengatasi masalah kelangkaan lahan dan ketahanan pangan di berbagai negara Muslim. Dengan demikian, Ihyaul Mawat bukan hanya merupakan praktik legal dalam hukum Islam, tetapi juga bagian dari tanggung jawab sosial dan ekonomi umat Islam dalam memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan.
Pengelolaan Lahan Terbengkalai oleh Organisasi Masyarakat
Organisasi masyarakat memiliki peran penting dalam mengelola lahan terbengkalai untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan:
- Membersihkan Lahan; Membersihkan lahan ini merupakan langkah dasar untuk memastikan bahwa lahan siap untuk diolah dan ditanami. Dalam pandangan Islam, menjaga kebersihan dan merawat lingkungan adalah bagian dari iman. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari menyatakan bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman.”
- Mengolah Tanah; Setelah lahan dibersihkan, langkah berikutnya adalah menggemburkan tanah dan mempersiapkannya untuk penanaman. Mengolah tanah meliputi proses penggemburan, penambahan pupuk, dan perbaikan struktur tanah agar siap untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Dalam kitab “Al-Mughni” karya Ibn Qudamah, disebutkan bahwa mengolah tanah adalah bagian dari upaya nyata dalam memanfaatkan lahan. Proses ini memastikan bahwa lahan tersebut dapat digunakan secara optimal dan produktif, sesuai dengan prinsip efisiensi dalam hukum Islam.
- Menanam Tanaman; Setelah tanah diolah, langkah selanjutnya adalah menanam tanaman yang bermanfaat. Menanam tanaman di lahan yang sebelumnya tidak produktif adalah bentuk nyata dari Ihyaul Mawat. Menurut kitab “Al-Majmu'” karya Imam Nawawi, menanam tanaman adalah salah satu cara terbaik untuk memanfaatkan lahan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Tanaman yang ditanam bisa berupa tanaman pangan, hortikultura, atau tanaman lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Menanam tanaman juga merupakan bentuk ibadah, karena memberikan manfaat bagi makhluk hidup lainnya.
- Mengembangkan Usaha Produktif; Selain menanam tanaman, organisasi masyarakat juga dapat mengembangkan usaha produktif lainnya di atas lahan tersebut. Usaha produktif ini bisa berupa peternakan, budidaya ikan, atau usaha kecil lainnya yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar. Dasar dari pengembangan usaha produktif ini dapat ditemukan dalam ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk bekerja keras dan berinovasi. Sheikh Yusuf al-Qaradawi dalam karyanya “Fiqh al-Zakah” menekankan pentingnya pengelolaan ekonomi yang berkelanjutan dan produktif sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan ekonomi umat Islam. Mengembangkan usaha produktif di lahan terbengkalai dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan.
Dengan langkah-langkah ini, organisasi masyarakat dapat mengelola lahan terbengkalai secara efektif dan produktif, sesuai dengan prinsip-prinsip Ihyaul Mawat dalam hukum Islam. Langkah-langkah ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Syarat-syarat Pengelolaan Lahan dalam Islam
- Lahan Tidak Digunakan; Lahan yang dimaksud dalam konsep Ihyaul Mawat harus benar-benar tidak digunakan oleh pemiliknya. Lahan ini sering kali adalah lahan yang telah lama dibiarkan tanpa ada tanda-tanda akan dimanfaatkan kembali. Dalam kitab “Al-Mughni” karya Ibn Qudamah, disebutkan bahwa lahan yang tidak digunakan (mawat) adalah lahan yang tidak ada tanda-tanda kehidupan atau pemanfaatan. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, yang menyebutkan bahwa barang siapa yang menghidupkan lahan mati (mawat), maka tanah itu menjadi miliknya. Oleh karena itu, syarat pertama dari Ihyaul Mawat adalah memastikan bahwa lahan tersebut benar-benar tidak digunakan oleh siapa pun.
- Pemanfaatan Produktif; Orang yang menghidupkan lahan harus benar-benar memanfaatkannya secara produktif. Pemanfaatan produktif ini dapat berupa penanaman tanaman, pembangunan fasilitas yang berguna, atau pengembangan usaha produktif lainnya. Dalam kitab “Al-Majmu'” karya Imam Nawawi, ditegaskan bahwa pemanfaatan produktif adalah inti dari Ihyaul Mawat. Pemanfaatan ini harus nyata dan berkelanjutan, bukan sekadar niat atau rencana. Tanaman yang ditanam, misalnya, harus dirawat hingga dapat memberikan hasil yang bermanfaat. Prinsip ini juga didukung oleh hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “Barang siapa yang menghidupkan lahan mati, maka tanah itu menjadi miliknya,” yang menunjukkan pentingnya tindakan nyata dalam memanfaatkan lahan tersebut.
- Izin Otoritas; Tindakan menghidupkan lahan mati harus mendapatkan izin dari otoritas yang berwenang jika diperlukan, untuk menghindari konflik hukum atau sosial. Dalam konteks modern, hal ini bisa berarti mendapatkan izin dari pemerintah lokal atau instansi terkait yang bertanggung jawab atas pengelolaan lahan. Dalam kitab “Al-Mughni,” Ibn Qudamah menekankan pentingnya mendapatkan izin untuk memastikan bahwa tindakan menghidupkan lahan ini tidak menimbulkan masalah hukum atau konflik dengan pemilik lahan yang sah atau dengan masyarakat sekitar. Hal ini juga relevan dalam konteks negara modern, di mana regulasi tanah diatur oleh undang-undang dan peraturan pemerintah.
Manfaat Pengelolaan Lahan Terbengkalai
Manfaat pengelolaan lahan terbengkalai oleh organisasi masyarakat meliputi:
- Peningkatan Produktivitas Lahan: Mengubah lahan yang tidak produktif menjadi lahan yang menghasilkan.
- Penyediaan Lapangan Kerja: Membuka peluang kerja baru bagi masyarakat sekitar.
- Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat: Meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui pemanfaatan lahan yang lebih baik.
- Pemanfaatan Sumber Daya Alam: Mengurangi pemborosan sumber daya alam dengan memanfaatkan lahan yang tidak digunakan.
Pandangan Ulama terhadap Pengelolaan Lahan
Mayoritas ulama sepakat bahwa Ihyaul Mawat adalah tindakan yang dianjurkan dalam Islam karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi pemborosan sumber daya alam. Konsep ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, yang menyatakan bahwa “Barang siapa yang menghidupkan lahan mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” Hadits ini menunjukkan bahwa Islam mendorong pemanfaatan lahan yang tidak digunakan untuk kepentingan produktif, dan para ulama menganggapnya sebagai bagian dari kewajiban sosial umat Islam.
Pandangan ulama dapat bervariasi tergantung pada konteks lokal dan kondisi spesifik. Misalnya, dalam kitab “Al-Mughni” karya Ibn Qudamah, disebutkan bahwa meskipun tindakan menghidupkan lahan mati sangat dianjurkan, pelaksanaannya harus dilakukan dengan memperhatikan aturan dan ketentuan yang ada di masyarakat. Ibn Qudamah menekankan pentingnya niat yang tulus dan usaha yang nyata dalam menghidupkan lahan, serta menghindari tindakan yang dapat menimbulkan konflik dengan pemilik lahan yang sah atau masyarakat sekitar.
Beberapa ulama menekankan pentingnya mendapatkan izin dari otoritas yang berwenang untuk menghindari konflik hukum atau sosial. Dalam kitab “Al-Majmu'” karya Imam Nawawi, dijelaskan bahwa mendapatkan izin dari otoritas yang berwenang adalah langkah penting untuk memastikan bahwa tindakan menghidupkan lahan mati tidak melanggar hukum atau merugikan pihak lain. Ulama kontemporer seperti Sheikh Yusuf al-Qaradawi juga menyatakan bahwa dalam konteks modern, regulasi pemerintah dan hukum negara harus dihormati dalam pelaksanaan Ihyaul Mawat untuk memastikan keberlanjutan dan keharmonisan sosial.
Pengaturan Pengelolaan Lahan Terbengkalai di Indonesia
Hukum positif di Indonesia mengatur pengelolaan lahan terbengkalai melalui berbagai regulasi pertanahan dan agraria. Salah satu regulasi utama adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Undang-undang ini mengatur pemanfaatan tanah yang tidak digunakan untuk kepentingan masyarakat, mirip dengan prinsip Ihyaul Mawat dalam Islam. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa tanah yang tidak digunakan dapat dimanfaatkan secara produktif dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Namun, prosedur dan implementasinya dalam konteks hukum positif Indonesia sering kali lebih menekankan pada aspek administratif dan legal formal, termasuk pengurusan izin dan pengawasan oleh instansi pemerintah terkait.
Dengan memahami konsep dan penerapan Ihyaul Mawat, organisasi masyarakat dapat berperan aktif dalam mengelola lahan terbengkalai, sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan regulasi yang berlaku di Indonesia. Langkah ini tidak hanya memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat, tetapi juga menjalankan ajaran Islam dalam pemanfaatan sumber daya alam secara bijak dan berkelanjutan. Kitab-kitab klasik seperti “Al-Mughni” oleh Ibn Qudamah dan “Al-Majmu'” oleh Imam Nawawi menekankan pentingnya pemanfaatan produktif dan kepatuhan terhadap aturan yang ada. Dalam konteks modern, ulama kontemporer seperti Sheikh Yusuf al-Qaradawi juga mendukung integrasi antara prinsip-prinsip Islam dan regulasi pemerintah untuk mencapai tujuan kesejahteraan sosial dan lingkungan yang berkelanjutan.